Minggu, 13 Januari 2013

Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2

Pengertian PPh Pasal 4 ayat (2) adalah :

PPh Pasal 4 (2) adalah :
Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 (2) Undang-Undang no.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
PPh Pasal 4 (2) bersifat final sehingga apabila wajib pajak telah dipotong PPh Pasal 4 (2) maka atas bukti potong tersebut tidak dapat dikreditkan.
Pemberi penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, Pemberi penghasilan dari  transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,  Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya,dll

Objek Pajak Penghasilan (PPh) / Jenis Penghasilan Yang Dikenakan PPh Pasal 4 (2)

Yang menjadi objek pajak  PPh Pasal 4 (2)  yang bersifat final  antara lain :
  1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya
  2. Bunga obligasi dan surat utang Negara.
  3. Bunga simpanan anggota yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
  4. Penghasilan berupa hadiah undian.
  5. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
  6. Penghasilan dari transaksi pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (harta berupa tanah dan/atau bangunan dan usaha real estate)
  7. Persewaan tanah dan/atau bangunan.
Kewajiban Bagi Pemotong PPh Pasal 4 (2)

Kewajiban Bagi Pemotong PPh Pasal 4 (2) adalah :
  • Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 (2) paling lambat dilakukan pada akhir bulan :
1. Dibayarkannya penghasilan.
2. Disediakan untuk dibayarkannya penghasilan.
3. Jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu
  • Membuat bukti pemotongan PPh Pasal 4 (2)
  • Memberikan bukti pemotongan kepada pihak yang dipotong PPh Pasal 4 (2).
  • Melakukan Penyetoran PPh Pasal 4 (2) paling lambat tanggal 10 bulan berikut setelah masa pajak berakhir ke bank atau kantor pos.
Contoh :
PPh Pasal 4 (2) masa pajak Januari 2012 paling lambat disetor tanggal 10 Pebruari 2012
  • Melakukan Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 (2) paling lambat tanggal 20 bulan berikut setelah masa pajak berakhir ke kantor pelayanan pajak.
Contoh :
PPh Pasal 4 (2) masa pajak Januari 2012 paling lambat dilaporkan tanggal 20 Pebruari 2012
  • Sanksi terlambat/tidak menyetor adalah 2 % sebulan, paling banyak 24 bulan (45 %), dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran s/d saat pembayaran, apabila ditagih dengan sebelumnya ditegor oleh kantor pajak sanksi sebesar 100 %.
  • Sanksi terlambat/tidak melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 (2) sebesar Rp.100.000,-.
Dasar hukum :
  1. UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
  2. UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan (KUP)
Cara Dan Contoh Perhitungan Pajak PPh Pasal 4 Ayat (2) Atas Penghasilan Jasa Pelaksanaan Konstruksi Kualifikasi Usaha Kecil
 
CV.Adit Sentosa yang mempunyai sertifikat Jasa Konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil, pada Tanggal 21 Desember 2012 menyerahkan Jasa Pembuatan Gedung Kantor kepada Bendahara Dinas Pendidikan Kab.Banyumas dengan nilai proyek Rp.220.000.000,- termasuk PPN.
Penghitungan Pajak PPh Pasal 4 Ayat (2) atas Jasa Konstruksi untuk proyek pembuatan gedung kantor Tanggal 21 Desember Tahun 2012 adalah sebagai berikut :
Nilai Proyek
220.000.000
Objek PPh Pasal 4 Ayat (2)
(100/110 x 220.000.0000)
  200.000.000
PPh Pasal 4 Ayat (2)
(2 % x 200.000.000)
4.000.000
Atas Jasa Pembuatan Gedung Kantor tersebut bendahara Dinas Pendidikan Kab.Banyumas mempunyai kewajiban memotong, menyetor dan melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 2 % dari objek PPh Pasal 4 ayat (2) serta harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut kepada CV.Adit Sentosa

Jumat, 11 Januari 2013

Pajak Penghasilan Pasal 26


Definisi PPh 26
 
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

Pemotong PPh Pasal 26
  1. Badan Pemerintah;
  2. Subjek Pajak dalam negeri;
  3. Penyelenggara Kegiatan;
  4. BUT;
  5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
Objek pajak penghasilan pasal 26

1.      Deviden
2.      Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian uang
3.      Royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
4.      Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan
5.      Hadiah dan penghargaan
6.      Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya
7.      Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
8.      Premi asuransi, termasuk premi reasuransi
9.      Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi PPh suatu BUT (Branch Profit Tax) kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia

Tarif Pajak
Besarnya tarif PPh pasal 26 dibedakan atas kelompok objek PPh pasal 26 seperti berikut:

1.      Atas penghasilan yang berupa:
a.       Deviden
b.      Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jminan pengembalian uang
c.       Royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
d.      Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan
e.       Hadiah dan penghargaan
f.       Pensiun dan pembayaran berkala lainnya

Dipotong PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah penghasilan bruto

Contoh :
·         Suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalty sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

·         Seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen)

  1. Atas penghasilan yang berupa:
a.       Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
b.      Premi asuransi, termasuk premi reasuransi

Dipotong PPh pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto

            Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk penjualan saham perseroan (yaitu Perseroan Terbatas Dalam Negri yang sahamnya diperjualbelika oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negri dan tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik) yang diperoleh WPLN selain BUT adalah 25% dari harga jual.

Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi luarnegri adalah sebagai berikut:
a.         Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayarkan.
b.         Atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi  di luar negri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar  10% dari jumlah premi yang dibayarkan.
c.         Atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi  di luar negri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar  5% dari jumlah premi yang dibayarkan.

  1. Atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu BUT di Indonesia, kecuali ditanamkan kembali di Indoesia dikenakan tariff pemotongan sebesar 20%.
Penanaman kembali tersebut harus memenuhi ketiga syarat berikut:
1.      Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri
2.      Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut
3.      Tidak melakukan pengaihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 2tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi komersial.


Contoh :
PKP BUT di Indonesia 2009 Rp17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000,00 Rp4.900.000.000,00 (-)
PKP setelah pajak Rp12.600.000.000,00
PPh Pasal 26 terutang:
20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menkeu, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Daftar Obyek Pemotongan PPh Pasal 26
 Obyek Pemotongan 
X   Jumlah Bruto
 X Penghasilan Netto
 Penghasilan Netto
 Sifat
Dividen
20 %
 
 
Final
bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
20 %
 
 
Final
Royalti
20 %
 
 
Final
Sewa
20 %
 
 
Final
Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
20 %
 
 
Final
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
20 %
 
 
Final
Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun
20 %
 
 
Final
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
20 %
 
 
Final
Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2),
 
20 %
?
Final
Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri
 
20 %
Diatur dalam KMK : 624/KMK.04/1994
Final
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha (BUT) tetap di Indonesia kecuali ditanamkan kembali di Indonesia (diatur oleh KMK 602/KMK.04/1994)
20 %
 
 
Final
Dalam hal terdapat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Tarif berdasarkan P3B antara Indonesia dengan negara domisili penerima hasil yang dipergunakan
 
 


SIFAT PEMOTONGAN
Pemotongan PPh pasal 26 bersifat final, kecuali:
  1. Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atas kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan BUT di Indonesia
  2. Pemotongan atas penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kntor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT  dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud
  3. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luarnegri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negri atau BUT.
Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26:
  1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
  2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
    1. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
    2. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
    3. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
  3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
  4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2009.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.